Di Indonesia ada banyak komunitas kerelawanan yang bergerak di banyak bidang yang berbeda-beda. Di Makassar sendiri ada kurang lebih 300 komunitas/organisasi kerelawanan. Mereka bergelut di pendidikan, sosial, lingkungan, dan sebagainya. Satu yang menjadi persamaan ke semuanya, yaitu bagaimana berbagi tanpa pamrih.
Kali ini, salah satu komunitas volunteer yang ada di Makassar, Relawan Pendidikan Indonesia (RPI), mengadakan satu kegiatan kemanusiaan. Organisasi tersebut dikoordinatori oleh Kak Yani. RPI ini sendiri bergerak di 4 fokus, pedalaman, perkotaan marginal, pesisir dan penanggulangan pasca bencana. Kali ini volunteer RPI menyempatkan diri untuk mengisi liburan dengan memberikan uluran tangan kepada masyarakat di pedalaman.
Di antara kurang lebih 30 volunteer, 3 di antaranya adalah mahasiswa Institut Parahikma Indonesia (IPI). Mereka adalah Mursyidin Yusuf, Nurhasibah (MPI) dan Faqih (Eksyar). Mereka bertiga turut andil bersama relawan RPI.
Kegiatan kemanusiaan tersebut diadakan pada 21 April 2019. “Waktu libur bukan berarti libur dari kegiatan positif”, ucap Hasibah, mahasiswi MPI . Menurutnya, kegiatan ini bisa menjadi pelajaran buat kita semua. Tak hanya Hasibah, Faqih juga menuturkan bahwa menjadi bagian dari relawan RPI ini adalah salah satu tantangan baginya, dan ini adalah kegiatan relawan pertamanya dan benar-benar menantang, apalagi akses jalanan ke sana masih sangat jauh dari kata bagus. Tidak sebagus jalanan yang kita saksikan pada umumnya. Jalannya berlubang sangat dalam. Pemerintah sebaiknya melihat keadaaan menuju ke sana.
Kerelawanan itu dilakukan di Kampung Muallaf, Dusun Makula, Kelurahan Betteng, Kecamatan Lembang, Pinrang. Sebuah kampung dengan 7 kepala keluarga dan 20 rumah panggung serta 1 masjid yang dibangun oleh komunitas relawan, seperti ACT (Aksi Cepat Tanggap), BSMI (Bulan Sabit Merah Indonesia), SRM (Sedekah Rombongan Majene), dan RPI (Relawan Pendidikan Indonesia).
Kampung muallaf sendiri masih sangat butuh pemahaman luas dan baru mengenai Islam. Sehingga dengan ini, teman-teman dari RPI selalu memberikan bantuan kepada mereka, seperti al-Qur’an, Iqra, sarung, mukena dan lain-lain. Tak hanya RPI, komunitas lain pun turut berpartisipasi membangun kampung muallaf. Kehidupan di sana sangatlah tenteram, meski tak ada jaringan telepon –apalagi jaringan data mereka tetap beraktivitas seperti biasanya. Mereka menikmatinya.
Anak-anak di kampung tersebut sangat senang bila ada relawan yang mengajari mereka baca-tulis al-Qur’an, hitung-hitungan, cara menggunakan sarung, praktik shalat dan wudhu, menggambar dan lain-lain. Mereka tidak perlu dipanggil berkali-kali untuk berkumpul di masjid. Sekali panggil mereka berbondong-bondong sambil mengajak temannya yang lain. Mulai dari yang ingusan sampai kelas 6 SD, semua antusias belajar, apapun pelajarannya.
Penulis sendiri merasa senang bisa ke sana, banyak pelajaran baru. Terutama perbedaan anak-anak kota yang ilmu bisa didapatkan di mana saja tapi diabaikan dengan anak-anak yang sangat haus ilmu. Yang paling wow adalah anak-anak di sana harus jalan kaki 3-5 kilo untuk sekolah. Wajar saja kaki-kaki mereka kuat. Beda dengan anak-anak di kota, yang sedikit-sedikit bergantung pada teknologi dan sebagainya. Buat teman-teman pembaca, sangat direkomendasikan untuk ke sana –kampung ini tidak ada di maps, yah!
Tak hanya mengajar, teman-teman RPI sendiri juga mengumpulkan batu-batu dari sungai untuk dijadikan bahan bangunan di kampung tersebut dan berbagai macam kegiatan lainnya. Setelah kampung muallaf, RPI kembali mengadakan kegiatan sosial di Kampung Murtad, Borong Bulo, Gowa dan beberapa tempat lainnya.
Penulis :
Yuda al-Awwam (UKM JPC)