Institut Parahikma Indonesia kembali mengadakan kuliah umum dengan pembicara yang dulunya adalah santri rektor IPI di pondok pesantren modern IMMIM Putra Makassar sekaligus mahasiswa Prof. Azhar di IAIN Alauddin Ujung Pandang dengan disiplin ilmu bahasa Arab. Beliau sendiri bernama Ismail Suardi Wekke, Ph. D. binaan rektor IPI yang juga tamatan Australia.

Sambutan pertama sebelum kuliah umum tersebut adalah rektor IPI, Prof. Dr. Azhar Arsyad, MA., namun dalam hal ini diwakili oleh dekan Fakultas Tarbiyah dan Keguruan. “Pemateri adalah salah satu murid dari Prof Azhar di pondok pesantren IMIM, dan mahasiswa beliau di IAIN Alaudin Ujung Pandang. S2 beliau di Malang dengan masih jurusan yang serupa, yakni bahasa Arab sedangkan S3 beliau di luar negeri. Inilah yang di harapkan supaya mahasiswa Institut Parahikma Indonesia dapat memetik ilmu beliau yang pada hakikatnya juga adalah binaan Prof. Azhar. Serta dapat mewujudkan IPI ini sebagai mahasiswa yang berperadaban, cerdas, terampil”, ucap Mansyur, S. Pd. I., M. Pd. I.

Kuliah dengan tema “Masa Depan Studi Islam di Perguruan Tinggi di Indonesia” tersebut diadakan di kampus 2 Institut Parahikma Indonesia, Jl. Tamangapa Raya, Antang, tanggal 31 Desember 2018 dimulai pada pukul 13:00 WITA hingga selesai.

Ismail Suardi Wekke mengatakan bahwa beliau sangat bersyukur diberi kesempatan bertemu mahasiswa-mahasiswi Institut Parahikma Indonesia. “Saya seperti kembali ke rumah sendiri”, ujarnya. Bukan hanya disambut seperti datangnya anggota keluarga, bahkan diberi kesempatan untuk berdiskusi di dalam majelis ilmu. Di pikiran beliau akan berada di dalam ruangan kecil yang bisa mengobrol bersama-sama dan sambil nyantai. Tapi ternyata tak seperti ekspekstasi, beliau disambut dengan rangkaian acara.

Merupakan sebuah kebanggaan dan tentu beliau sangat berterima kasih kepada adik-adik mahasiswa juga kepada civitas akademika IPI. “Terima kasih ibu/bapak dosen dan adik-adik mahasiswa menyambut kedatangan saya dengan hangat”. Walau belum menjadi perhatian secara resmi, tetapi kedekatan secara emosional maupun keilmuan kepada bapak rektor mengantar langka kaki beliau sehingga dapat sampai ke Institut Parahikma Indonesia. Beliau pun sedikit bercerita pengalamannya ketika bersama Prof. Azhar Arsyad yang dimana Prof. Azhar-lah yang menjadi alasan kenapa beliau bisa keliling dunia, tambahnya.

Beliau pun berujar bahwa secara khusus beliau akan memberikan pandangan terkait dengan studi Islam perguruan tinggi, “Terakhir kita saksikan peresmian sekolah tinggi agama Islam di Majene, Sulawesi Barat. Ini bukan yang terakhir, masih banyak perguruan tinggi Islam yang lain. Belum lagi ada di Bali, Kupang ,NTT, tentu perguruan tinggi Islam swasta akan terus berkembang. Kita berhenti di situ tentang PTKIN. Pembahasan ini tentu bukan perguruan tinggi baru, kita lihat perguruan tinggi keagamaan secara makro, Kamis, 20 Desember lalu menjadi momentum Universitas Muslim di Makassar mencari akreditasi insitusi. Setelahnya Universitas Islam Negri Alpin, yang juga memiliki transformasi dari Prof. Azhar waktu itu. Dan saat ini UIN Alauddin yang juga merupakan hasil rintisan rektor IPI memiliki status unggul. Hal ini menjadi bukti bahwa perguruan tinggi keagamaan mampu bersaing dengan perguruan tinggi umum”, ucap beliau dengan antusias.

Selain itu, beliau sedikit menyinggung bencana-bencana yang terjadi belakang ini dan mengatakan hal yang harus diperhatikan. Pertama adalah soal kesadaran lingkungan, bencana demi bencana senantiasa datang, kita tidak punya kuasa sama sekali, kita berada di garis pantai terbentang luas yang paling panjang di dunia. Olehnya, ancaman tsunami selalu mengintai kita sepanjang masa, begitu pula gunung api yang berjejer tak kurang dari 180. Semuanya juga setiap saat dapat mengluarkan abu vulkanik bahkan erupsi yang bisa saja terjadi saat kita tertidur lelap, atau sementara kita sedang menyantap suatu hidangan. Atau barangkali sedang menikmati alunan musik. Solusinya saat menghadapi bencana harus menjadikannya bagian dari kehidupan kita. Hanya saja, karena tidak tersedianya sistem peringatan yang tidak memadai, kita tidak punya keterampilan akan hal tersebut, dan juga teknologi yang tidak kita kuasai. Maka dari itu perguruan tinggi harus terampil dalam kondisi seperti itu, membangun keterampilan untuk menghadapi bencana.

Perguruan tinggi Islam tidak boleh mengasingkan diri pada persoalan lingkungan, termasuk soal bencana dan mengatasi semua hambatan, akan tetapi justru sebaliknya. Islam sejak awal memperingatkan kepada kita bahwa kerusakan justru berawal dari masalah kemanusian. Selain itu, perguruan tinggi juga harus memiliki ciri khas tersendiri. Dengan ciri khas itu lah semestinya menjadi keunggulan perguruan tinggi islam, sesekali melihat sejenak bagaimana tata kelola perguruan tinggi kita di negara lain, tetapi tidak boleh lengah, melihat perguruan tinggi lain tidak boleh malah membuat kita berkecil hati, dan kemudian cara pandang kita tidak boleh seperti cara pandang mereka, kita wajib memiliki cara pandang sendiri karena masalah yang kita hadapi juga memiliki konteks sendiri.

Dengan demikian, pilihan Institut Parahikma Indonesia yang menjadikan ilmu Hikmah ujung keilmuan merupakan pilihan yang sangat tepat. Banyak konteks-konteks keislaman tidak disadari langsung kepada orang yang tidak menganut agama islam, pada kondisi inilah posisi kita wajib hadir dan menampakkan kebenaran itu. Kehadiran IPI pastinya diharapkan bisa menjadi penengah pada permasalahan-permasalahan di atas.

Begitulah pemaparan pemateri dalam kuliah umum ini. Para peserta diajak untuk optimis dalam menjadikan IPI sebagai perguruan tinggi islam yang mampu bersaing dengan kampus ternama lainnya. Karena itulah, rektor IPI mengangkat beliau selaku Kepala Pusat International Affairs yang akan melaksanakan tanggung jawabnya dalam menjalin kerjasama dengan institusi di luar negeri baik berupa double degree program, student exchange, dsb.

Oleh : Hafiz As’Ary dan Mursyidin yusuf (UKM JPC)

Editor: Aminah