Himpunan
mahasiswa prodi MPI bekerjasama dengan UKM Journalism and Pen Circle, menggelar
seminar Sharing Session yang
menghadirkan para alumni penerima program.kepemudaan yang di selenggarakan oleh
Amerika serikat.
Acara
yang bertempat di kampus I Institut Parahikma Indonesia, dihadiri oleh puluhan
peserta yang hadir dari berbagai macam latar belakang, mulai dari pelajar, mahasiswa, dan aktivis sosial.
Seminar
pada 19 Januari 2020 ini diselanggarakan dengan tujuan untuk memberikan
informasi kepada khalayak luas tentang program-progam edukasi pelajar yang diselenggarakan
oleh Amerika Serikat kepada para mahasiswa di Indonesia.
Kedua
pemateri, Mursyidin yusuf (ketua umum UKM JPC IPI dan perwakilan Indonesia sebagai
Awardee of SUSI program, 2019) dan
Mixelia Ade Novianty (Awardee of YSEALI program, 2018 dan Winner of YSEALI
Seeds for the Future, 2019) menjelaskan pengalaman, tips, dan trik mereka dalam
mendaftarkan diri dalam Program tersebut, serta memperkenalkan lembaga
penyelenggara program yang tiap tahunnya menyediakan program-program yang berorientasi
pada pengembangan kapasitas pemuda, serta mempererat hubungan antara negara Amerika
dan negara asal para peserta program.
Mursyid
berbagi pengalamannya selama di Amerika alam rangka mengkaji isu seputar Pluralism and Religion sementara Mixelle
yang mencetuskan SMILE dan Simanggi program berbagi seputar civic engagement. Berhubung Mixelle
adalah mahasiswi kedokteran, maka dia banyak berkiprah di bidang kesehatan.
Dengan
diselenggarakannya acara ini diharapkan agar teman-teman mahasiswa lebih
semangat untuk menuntut ilmu dan juga mewujudkan mimpinya keluar negeri. Apalagi
sebagai pemuda yang memiliki tongkat estafet dalam membangun negeri dan menjadi
agen perdamaian dunia, maka selain bisa berbahasa inggris, para awardee juga aktif berkecimpung pada
pemberdayaan masyarakat dan berwawasan luas.
Bersama Peserta Study of the U.S. Institutes (SUSI) for Student Leaders program
Mahasiswa IPI, Mursyidin
Yusuf, angkatan pertama di Institut
Parahikma Indonesia, program studi Manajemen Pendidikan Islam (MPI) ini berbagi
pengalamannya selama berada di Amerika Serikat. Dia mengungkapkan, “Alhamdulillah,
karena kuliah di IPI, dan berbagai bimbingan dari dosen-dosen Tadris Bahasa
Inggris, salah satu dosen MPI yang kesemuanya alumni luar negri, serta Rektor
IPI yakni Prof. Dr. Azhar Arsyad, M.A saya bisa menginjakkan kaki di negeri
Paman Sam”.
“Prof. Azhar adalah
alasan terbesar saya sehingga bisa lulus pada program yang setara dengan FulbrightProgram tersebut. Beliau mendukung kami mahasiswanya, pagi hingga
malam ia menyampaikan ilmunya tanpa mengenal lelah. Begitulah beliau. Kami tak
mampu mendeskripsikan semangat beliau. Kalian bisa menyaksikan UIN Alauddin
yang sekarang, itu adalah rintisan beliau dan saya yakin, Institut Parahikma
Indonesia akan menjadi kampus hebat di bawah kepemimpinannya”, puji Mursyid.
Tanpa biaya sepeser pun sejak tanggal 24 Juni lalu hingga hari ini, seluruh peserta Study of the U.S. Institutes (SUSI) for Student Leaders program ini menjalani semua prosedur sebelum ke Amerika, selama berada di sana, dan sampai ke tanah air kembali . Adapun mereka yang dari Indonesia Timur adalah Maria (Maumere), Syafrian (Madura), Reza(Jogja), Indira (Surabaya) dan Mursyid dari Sulawesi.
Dari peserta di seluruh
dunia, Mursyid terpilih mengikuti program Religious Freedom and Pluralism yang
bertempat di Temple University dengan 5 negara yang berpartisipasi, yaitu
India, Iraq, Indonesia, Mesir, dan Libanon. Ada banyak pengalaman mengenai
budaya, makanan, hingga wawasan terkait Kebebasan dalam agama dan Pluralisme
selama mengikuti event tersebut.
Lokasi
yang dikunjungi selama di Amerika diantaranya adalah Pendle Hill di
Philadelphia, Temple University. Kedatangan mereka disambut hangat oleh Permiasphilly (Kumpulan mahasiswa Indonesia di Philadelphia.
Philadelphia juga dikenal dengan nama Philly.
Keesokan
harinya mereka diarahkan ke Morgan Hall, di kampus yang sama. Mereka diberikan
4 kartu dengan fungsi yang berbeda pula pastinya. Kartu pertama adalah Guest
Card MH, sebuah kartu yang menandakan bahwa mereka adalah tamu Morgan Hall.
Yang kedua, Temple Student Card, adalah kartu identitas mahasiswa Temple
University. Yang ketiga adalah Conference Services Card, kartu yang
digunakann agar bisa mengakses segala fasilitas yang ada di Morgan Hall. SEPTA
Key Card, kartu ini digunakan ketika hendak pergi dari tempat satu ke
tempat yang lainnya menggunakan subway (kereta bawah tanah). Kartu ini
mirip dengan kartu ATM. Harus ada uang di dalamnya untuk bisa menggunakannya.
Selama
disana, peserta mengikuti beberapa perkuliahan, diantaranya “Introduction to
Christian” yang dibawakan oleh Prof. Leonard Swidler. “Setelah kelas
tersebut berakhir, kami menuju Arch
Street Meetinghouse melakukan kunjungan lapangan. Perlu diketahui bahwa
setiap kelas pluralisme berakhir, kita akan dibawa ke tempat yang berkaitan
erat dengan kuliah yang kami terima. Disini, kebebasan beragama juga sangat
nampak jelas. Orang Amerika tidak selamanya benci Islam.”, ungkap Mursyid.
Di
Meetinghouse mereka menonton sebuah
film yang mengilustrasikan terbentuknya Pennsylvania dan Philadelphia sebagai
kotanya. Film bertajuk Willam Penn Shadow
tersebut berdurasi 28 menit dan mereka menikmati jalan ceritanya. Karena
semangat dan usaha dari Penn, maka patungnya dibadikan di tengah kota
Philadelphia.
Mereka
juga mengunjungi beberapa tempat lainnya seperti Christ Church,Logan Square, Swann Memorial Fountain,
Love Park, St. Agatha James Church, Pennsylvania dan masih banyak lagi. “Mataku
kadang tak berkedip melihat keagungan ini, benar-benar fantastic. Saya tak pernah punya mimpi ingin datang ke tempat
tersebut, tapi Alhamdulillah, saya bisa ke sana tanpa memimpikannya. Ini juga
berkat kuliah di IPI, lho”, ujar Mursyid yang juga adalah ketua UKM Journalism and
Pen Circle di IPI ini.
Disaat
libur tiba, kami dibagi menjadi 10 kelompok di tempat berbeda. “Saya dan rekan
saya menuju Manna House. Ayah “angkat” kami bernama David dan istrinya bernama
Susan. Kami diperkenalkan beberapa area di sana dan kepada siapa
makanan-makanan itu diperuntukkan. Mereka juga membuka kesempatan bagi para relawan yang ingin bergabung.
Sekarang ada 20 ribu relawan yang bergabung di Manna House.
Dan masih banyak lagi cerita
yang tak bisa terungkap disini. “Saya bersyukur kuliah di IPI, dengan
dosen-dosen yang luar biasa, program bahasa inggris selama 3 tahun, ilmu agama,
profesionalisme tiap jurusan yang dipilih, serta banyaknya aktivitas yang bisa
saya lakukan di berbagai organisasi, UKM, membuat saya bisa mewujudkan impian
keluar negeri. Thank you very much, IPI. Ayo kuliah di
IPI and start your greatest goal here”, pesannya.
Institut Parahikma Indonesia yang berdiri sejak tahun 2016 ini, membuktikan bahwa kampus yang masih berusia dini ini memang memiliki Sumber Daya Manusia yang luar biasa. Hanya dalam jangka waktu kurang lebih hampir 3 tahun, IPI sudah mampu mencetak mahasiswa sebagai duta Indonesia dalam ajang Internasional, khususnya pada program pertukaran pelajar Study of the U.S. Institutes for Student Leaders. Ini membuktikan bahwa untuk Go International tidak harus lulusan kampus negeri, melainkan kampus yang berorientasi overseas dan berkomitmen untuk menghasilkan alumni yang bersaing baik dalam skala nasional maupun internasional.
Setelah melalui seleksi institut yang ketat, dengan beberapa mentor handal yakni Ms. Nurwahida, Mr. Abdi yang keduanya adalah dosen alumni Amerika dan mendapatkan beasiswa MoRA untuk melanjutkan doktornya di Australia dan Inggris, maka terpilihlah Mursyidin Yusuf sebagai representative program ini. Tes yang selanjutnya dilalui dalam Study of the U.S. Institutes for Student Leaders program antara lain essay, google form, recomendation letter dan personal statement), serta interview via Skype. Selain itu, motivasi Prof. Azhar Arsyad, rektor IPI, yang selalu menginspirasinya dalam berbagai aspek, seperti Bahasa Inggris, ICT, dan ilmu spiritual, banyak membaca, gali ilmu dari berbagai tokoh, membuat Mursid selalu giat berusaha dan belajar.
Mursyid, yang juga adalah Ketua Umum UKM Journalism and Pen Circle (JPC) serta demisioner ketua HMPS MPI ini berbagi pengalaman, “selama di IPI kami dibekali Bahasa Inggris selama 3 tahun, ICT, bekal agama, profesionalisme di prodi masing-masing, wawasan keilmuan dan kebangsaan di UKM JPC, dan banyak UKM yang bisa dijadikan pilihan guna mengasah bakat dan minat kami disini”.
Dia pun menambahkan bahwa dalam seleksi tes Exchange Student Program ini, ia diminta untuk menjabarkan segala hal terkait pengalamannya sebagai volunteer. Diantaranya, di IYG (Indonesian Youth Generation), KITA Bhinneka Tunggal Ika, IDMI (Ikatan Da’i Muda Indonesia), KPAJ, RPI (Relawan Pendidikan Indonesia), ReadPublik (komunitas literasi Makassar), HI (Human Iniatitive), dll. Di IYG bergerak di bidang pendidikan, sosial, kepemudaan dan lingkungan (terkhusus ke tujuan Sustainable Development Goals, SDGs). Telah diadakan sospro (social project) di pantai Losari dengan berbagai kegiatan, dan akhir April ini akan diadakan lagi IYA (Integrity Youth Adventure) yang kedua dalam skala nasional yg sasarannya anak SMA se-Indonesia dan bertempat di Malino nantinya.
“Komunitas lainnya adalah IDMI yang fokus di dakwah. Lebih kepada pengisian jadwal ceramah dan khotbah di masjid-masjid yang ada kerjasamanya dengan IDMI. Sedangkan KPAJ bergerak di sosial, terkhusus pada anak-anak jalanan. RPI bergerak di pendidikan secara umum, tapi juga aktif di sosial dan lingkungan. ReadPublik itu orientasinya hanya buat berita dan jadi penulis esai, opini dan puisi di websitenya. Selain itu, Asoli.id (Asosiasi Literasi) juga bergerak mirip dengan ReadPublik. (tambahannya berupa novel, cerpen dan cermin dan beberapa antologi) tapi cakupannya besar, sampai ke tingkat nasional. Saya juga aktif di yang Human Initiative (HI) yang bergerak di bidang sosial, dan di Kelas Inspirasi, saya pernah menjadi recruiter relawan pengajar dan dokumentator” ujarnya.
“KITA yang bergerak di bidang pendidikan dan perdamaian anti kekerasan juga mengadakan banyak kegiatan selain daripada kegiatan akademik yang bekerjasama dengan belasan komunitas serupa dengan kami. Seperti Gusdurian, Peacegen, IFLC, BSMI, komunitas Satap, Ikasa, AIM, hoax buster, kolaborasi.id, dll. Saya pernah menjadi project manager KITA (saat itu). Sekarang sebagai project officer Akademi KITA yang didalamnya ada beberpa kelas, seperti peace leadership class, peace leadership training, outdoor class, dan mentoring class (saat ini diusung TOEFL class yang pengajarnya adalah saya sendiri dan hanya untuk teman-teman di KITA). Saya bersyukur sekali karena di IPI juga sudah belajar TOEFL, jadi bisa sharing sama teman-teman”, tambahnya.
Salah satu komponen yang membuatnya lolos adalah pemahamannya mengenai pluralisme. “Kalau kita berbicara pluralisme, berarti kita bicara paham. Pluralisme adalah pemahaman mengenai banyaknya perbedaan, dalam hal ini, keagamaan. Religius freedom without looking down or caling down other religions. Pluralisme bermakna bagaimana kita bisa menyelami keseragaman dan tetap harmoni dalam perbedaan, tanpa mengatasnamakan agama-agama yang kita anut, dengan saling menghargai dan menerima satu sama lain tanpa menggunakan seragam agama (Islam, Kristen, dll) tapi bergaunkan Bhinneka (Bhinneka Tunggal Ika)”, jelasnya.
“Alasan ikut event ini karena sesuai dengan background pendidikan saya, pesantren dan IPI sebagai institusi islam dengan (temanya pluralisme), makanya tertarik. Saya mau tahu lebih mengenai Islam diluar penjelasan orangg Islam sendiri dan memperkenalkan Islam tanpa dalil Islam (al-Qur’an dan Hadis) tapi dengan pendekatan akal. Alasan lain juga pastinya ingin buat orang tua bangga dan menangis bahagia”, ungkapnya penuh bahagia.
Selain Mursid, peserta yang lolos mewakili Indonesia Timur adalah Maria Sarah Sohia Tay. Sementara dari Indonesia wilayah lainnya adalah Indra, Natalie, dan Reza. Mereka berlima akan berangkat pada tanggal 22 Juni mendatang. Yang akan dilakukan di Amerika nantinya yaitu mengenal budaya U.S. (dari segi agama dan sosial), belajar mengenai kepemimpinan, dan tour. Participants akan melakukan tour ke Salt Lake City, Utah, serta mengeksplor the SUSI theme from different perspectives. The Institute will end in Washington, DC, along with four other SUSI cohorts, for a closing event and opportunity to network with SUSI participants across regions and Institutes.
Komentar Terbaru