DARI NEUROSAINS MENUJU RUHIOSAINS (Relasi Sains-Agama dalam Perspektif Dua Pusaka Abadi: Qur’an dan Sunnah-Nya)

DARI NEUROSAINS MENUJU RUHIOSAINS (Relasi Sains-Agama dalam Perspektif Dua Pusaka Abadi: Qur’an dan Sunnah-Nya)

Kuliah umum yang disajikan oleh Dr. Waryani Fajar Riyanto, M.Ag. (Wakil Ketua Departemen Dakwah DPP Jam’iyyatul Islamiyah, Kepala Sub Bidang Bina Lembaga Keagamaan Pusat Kerukunan Umat Beragama Sekretariat Jenderal Kementerian Agama RI, pada hari Sabtu (08/02/2020), di Gedung B Aula Institut Parahikma Indonesia Gowa, Dihadiri oleh beberapa Guru Besar UIN, dosen-dosen UIN Alauddin Makassar, dosen IPI, Mahasiswa IPI dan beberapa tamu undangan.

Kegiatan tersebut dibuka secara resmi oleh Rektor Institut Parahikma Indonesia, Prof. Dr. Azhar Arsyad MA, juga beliau sebagai Ketua Dewan Guru Besar UIN Alauddin Makassar. Dalam sambutannya mengatakan bahwa filosofi berdirinya IPI untuk menciptakan generasi yang meguasai Bahasa Inggris agar, menguasai ICT dan mengerti agama Islam melalui Al-Qur’an dan Hadis. Persaingan secara global kini harus mengerti bahasa international dan penguasaan ICT untuk mengarahkan hidup lebih baik diperlukan pemahaman serta pengamalan Al-Qur’an dan Sunnah secara konkret.

Dalam situasi pramodern, ruh menjadi paradigma utama kehidupan. Hidup dan alam semesta adalah manifestasi Ruh Ilahi. Segala sesuatu dilihat dan dipahami dalam hubungannya dengan dunia ruh itu. Pada periode ini, dua pilar peradaban, yakni pengetahuan (sains) dan agama merupakan satu kesatuan saling terkait erat. Bedanya, agama mampu menyelesaikan (solution) ciptaan Tuhan (God creation) yang bernama ”manusia”, sedangkan sains, yang berasal dari olah pikir manusia (human thought), hanya dapat mengatur (regulate) kehidupan manusia.

Dalam situasi modern, paradigma utamanya adalah tubuh atau materi dan pikiran (yang dipahaminya bahwa sumber pikiran itu adalah brain atau otak). Pengutamaan tubuh dan materi menghasilkan budaya konsumerisme. Pengutamaan pikiran melahirkan iptek. Dalam situasi semacam itu, ruh menjadi tersisih. Ruh semakin teralineasi di era postmodern, ketika industri 4.0 mengutamakan cara berpikir robotik, nuerosantifik, sibernetik, digitalisasi, dan internet. Ruh sebagai identitas subjek, kini telah menjadi objek (objektivasi subjek).

Adakah ruh dianugerahkan Allah kepada setiap manusia? Bagaimanakah seseorang mengetahui adanya ruh pada setiap dirinya? Apakah wujud daripada ruh itu? Misalnya, pada saat seseorang melihat, mendengar, mencium, merasakan, dan berpikir tentang sesuatu: Apakah mata yang melihat? Apakah telinga yang mendengar? Apakah lidah yang merasa? Apakah otak yang berpikir? Padahal, orang tidur dan orang mati itu juga punya mata, telinga, lidah, dan otak. Tetapi, kenapa orang tidur dan mati tidak bisa melihat, mendengar, merasa, dan berpikir (QS.39:42)? Itu menunjukkan, bahwa yang melihat itu bukan mata, tetapi ruh yang melihat pada mata.

Yang mendengar itu bukan telinga, tetapi ruh yang mendengar pada telinga. Yang merasa itu bukan lidah, tetapi ruh yang merasa pada lidah. Yang berpikir itu bukan otak, tetapi ruh yang berpikir pada otak. Jadi, penglihatan pada mata, pendengaran pada telinga, perasaan pada lidah, dan pemikiran pada otak, itulah ruh (QS.32:9). Dengan kata lain, yang cerdas atau intelek itu adalah ruh, bukan otak. Otak hanya alat saja, tetapi ianya bukanlah sumber (kecerdasan).

Model kecerdasan pertama, kedua, dan ketiga, yaitu IQ, EQ, dan SQ masih menggunakan basis material otak (dan jantung), yang bersifat bio-psikologis, sebagai hasil dari olah nalar manusia (human thought). Sedangkan kecerdasaan keempat, yaitu RQ atau kecerdasan ruhani menggunakan basis immateriil, yaitu nikmat atau zat atau rasa, yang berasal dari ciptaan Tuhan (God creation).

Sains dan teknologi akan lebih bermartabat, bermanfaat, dan bermakna dengan produktivitas dan efisiensi yang sangat tinggi, bila tahu manfaat dan mudharatnya. Syaratnya, sains dan teknologi diurus oleh manusia, manusia diurus oleh ruh, dan ketika ruh diurus oleh Tuhan, wajib ikut Rasul.

Basis pengetahuan IQ, EQ, dan SQ adalah psikologi atau nafsiologi (ilmu jiwa). Sedangkan basis ilmu RQ adalah ruhani. Karenanya, menggeser paradigma IQ, EQ, dan SQ menuju RQ, seyogyanya adalah pergeseran paradigma dari neurosains menuju ruhiosains.

Demikian ulasan materi tentang ruhiosains yang dasajikan oleh bapak Dr. Waryani Fajar Riyanto, M. Ag.

Penulis: Muhammad Asriady (Dosen PAI Institut Parahikma Indonesia)